Payung
Teduh dan Titik Hitam di Yogyakarta
Pada tanggal 25 Mei tahun 2013, kami diundang untuk tampil di
festival Lockstock 2 di Yogyakarta, barangkali sebagian dari kita sudah
mengetahui tentang event tersebut yang berakhir dengan tragedi. Di pesawat
menuju Jogja, cuaca terbilang buruk sehingga terjadi turbulensi yang kerap
menemani kami selama di perjalanan. Kami tiba di bandara Adisucipto Jogjakarta
yang diguyur hujan sekitar jam 20.30, teman-teman kru Payung Teduh yang datang
lebih awal langsung menemui kami serta menceritakan betapa menyeramkannya
penerbangan mereka, sampai-sampai pesawatnya hampir menukik dan harus mematikan
mesin sebentar untuk bermanuver lalu kemudian terbang lagi dengan normal (terus
terang saya cukup salut dengan kemampuan sang pilot dari salah satu maskapai
yang jarang mendapat pujian tersebut). Setelah beristirahat sejenak di bandara,
kami dijemput oleh panitia menuju stadion Maguwoharjo. Hujan pun terus turun
dengan deras dalam perjalanan kami ke stadion. Setibanya di sana, hujan sudah
sedikit mereda, namun gerimis yang turun ternyata masih lebih lama dari
perkiraan. Kamipun digiring panitia ke ruang tunggu untuk menyantap konsumsi
yang sudah disediakan, sesekali saya menengok keluar untuk memeriksa apakah
hujannya sudah berhenti, yang ternyata kalau tidak salah hujan baru berhenti
menjelang tengah. Seusai makan malam saya, Is, Cito, dan Ivan beserta kru serta
mas Aik yang merupakan admin Payung Teduh Jogja ikut berjalan-jalan di sekitar
venue, di sana kami melihat Main Stage yang besar nan megah namun ditinggalkan
lantaran hujan yang mengguyur Jogja kala itu. Kami juga melihat ada stage lain
yang sedikit lebih kecil dari Main Stage yang juga ditinggalkan. Saya sempat
tertegun melihat panggung-panggung tersebut yang seharusnya terang benderang
serta ramai dipenuhi penonton, justru sepi, gelap, dan basah, bahkan tidak ada
satupun lampu sorot yang menerangi panggung-panggung tersebut, membuatnya
terlihat semakin menyedihkan.
Demikian pula dengan food stalls yang mungkin seharusnya berada di
lapangan sekitar venue, karena hujan deras harus pindah ke bagian stadion yang
lain agar mereka bisa berteduh. Alhasil tidak banyak orang yang membeli
jajanan, dan tidak sedikit pula slot-slot penjualan makanan yang sudah
disediakan panitia menjadi kosong dan ditinggalkan.
Mendengar sedikit hingar-bingar di sekitar stadion, kami kemudian
terbawa ke salah satu panggung darurat yang disediakan oleh panitia, di sana
kami melihat sebuah band post rock/punk keren yang sukses membuat para penonton
melupakan hujan yang masih setia mengguyur Jogjakarta. Tidak lama setelah band
tersebut tampil, band berikutnya yang muncul adalah Navicula, saya sendiri saat
itu baru pertama kalinya melihat Navicula tampil, namun sangat terpukau oleh
energy yang dichanelkan oleh Robby dkk ke penonton dan fans-fans mereka yang
sudah menunggu. Is terlihat sangat antusias melihat penampilan mereka serta
kerap meloncat-loncat sendiri mengikuti distorsi ala grunge dan Tom Morello. Is
bahkan terus me-request dan berteriak-teriak meminta dibawakan lagu Bubur Kayu,
lagu baru Navicula yang hingga akhir mereka tampil tidak dibawakan, karena mereka
belum sempat latihan, menurut Is setelah ngobrol dengan Robby.
Tidak lama setelah Navicula tampil, kamipun kemudian kembali ke ruang
tunggu, di sana kami mulai bingung dan resah karena hujan tidak kunjung
berhenti serta kurang jelasnya kepastian kami akan jadi tampil atau tidak.
Sebelum kembali ke ruang tunggu saya sempat melihat salah seorang personil Koil
(sepertinya Leon sang drummer) yang sedang sibuk melihat handphone-nya, yang
barangkali juga sedang berdiskusi dengan manajer mereka via telpon akan kejelasan
nasib mereka. Di ruang tunggu, manajer kami Etep terlihat cukup sibuk
berdiskusi dengan panitia, sambil sesekali kembali untuk berdiskusi dengan
kami. Di tengah ketidakjelasan itu, yang ada di pikiran saya bukanlah amarah
atau kekesalan saya terhadap panitia, melainkan ketidaksabaran saya untuk
segera pulang ke Jakarta karena ada deadline pekerjaan di kantor saya di BINUS yang
belum selesai.
Menjelang tengah malam, hujan mulai mereda dan kamipun kemudian
segera kembali ke tempat yang seharusnya menjadi tempat kami menginap. Rencana
untuk beristirahat di penginapan yang disediakan panitia pun gagal karena villa
yang seharusnya kami tempati masih digunakan oleh bang Ras Muhammad beserta para
krunya. Sepertinya rencana panitia pada awalnya adalah kami bergantian untuk
menggunakan villa tersebut setelah Ras Muhammad tampil di panggung, namun
rencana tersebut gagal karena jadwal acara yang menjadi berantakan lantaran
hujan yang turun terus menerus. Walhasil, resmi sudah kalau kami terdampar di
Jogja. Karena kami harus mencari tempat menginap yang baru, Etep kemudian
terlihat sibuk berdiskusi dengan mas Aik selaku admin Payung Teduh Jogja, untuk
mendapatkan beberapa alternatif tempat menginap. Beruntung sekali kami akan
kehadiran mas Aik dan teman-teman Jogja yang kemudian bersedia menampung kami
yang sudah sangat kelelahan di kontrakan mereka. Di sana kami bisa
beristirahat, tidur, dan yang terpenting bisa berembuk untuk membahas
kelanjutan kunjungan kami ke Jogja ini.
Keesokan paginya, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada
rekan-rekan admin Payung Teduh Jogja, kami merencanakan surprise gig di Legend
Café. Sekitar jam 9 pagi rekan-rekan admin PT Jogja langsung membuat poster
dadakan tentang gig kami, promosi pun kemudian mulai disebarkan sekitar jam 11
pagi via social media Twitter dan Facebook.
Pada jam makan siang, kami berangkat untuk menyantap makan siang di
salah satu restoran di Jogja, di sanalah kami mulai mendengar rumor soal kelanjutan
acara Lockstock tersebut. Bermula dari salah satu kru kami yang menunjukkan
tweet soal ditemukannya jenazah seseorang di rel kereta yang mirip dengan
ciri-ciri fisik sang promotor acara LockStock. Ketika itu kami masih
berspekulasi, “ahh paling cuma kebetulan mirip” atau “hoax kali, masak iya dia
bunuh diri?”. Tidak lama setelah kami selesai makan di restoran, muncul lagi
tweet yang menegaskan rumor tersebut, ternyata berita tersebut memang benar
bahwa Yoga Cahyadi telah mengakhiri hidupnya sendiri dengan menghadang kereta
api di pagi hari. Penasaran, seolah masih belum percaya akan berita tersebut,
kami memeriksa akun twitter Yoga, di sana kami melihat hujatan dan caci-makian
dari orang-orang yang memojokkan beliau, yang kebanyakan menuduh Yoga kabur
membawa uang honor para musisi yang harusnya tampil sehari sebelumnya, tuduhan
yang sebenarnya tidak terbukti. Kami juga melihat tweet balasan dari Yoga, yang
berterima kasih atas cacian dan makian yang diberikan kepadanya, serta
menutupnya dengan mengatakan kalau saat itu adalah waktunya untuk menuju Tuhan.
Kami pun semakin yakin bahwa beliau sudah berpulang ketika adik Yoga menulis di
akun twitter pribadinya, bahwa sang kakak telah berpulang.
foto bersama tim admin @payungteduh_jgj sesaat sebelum mengetahui kabar tentang meninggalnya Yoga |
Saya ingat wajah teman-teman PT seketikapun terdiam, kosong, tidak
ada dari kami yang berbicara selama beberapa menit… sang promotor yang telah
mengundang kami tampil bersama musisi-musisi hebat lainnya telah wafat beberapa
jam sebelumnya. Ya, ini merupakan tamparan yang keras untuk scene musik indie Indonesia…
Masih di restoran, Is kemudian mengusulkan agar kita mengadakan
acara amal untuk almarhum, lalu menambahkan bahwa nyawa yang hilang ini
menghapus semua kekecewaan dan kerugian yang dialami semua pihak. Sempat
terbersit dalam pikiran saya, seandainya kita bisa memutar balik waktu, pasti
kami akan mengajak rekan-rekan musisi lain untuk berdiskusi dengan Yoga untuk
membuat konser susulan setelah konser LockStock 2 yang gagal. Atau apapun untuk
membantu panitia dan khususnya Yoga agar bisa melunasi hutang-hutang membayar
panggung, sound system, dan lain-lain. Meskipun mungkin pada nyatanya tidak bisa
selesai sesederhana itu, karena rumitnya membuat event besar.
Jam 5 sore di Legend Café kemudian menjadi penuh sesak dengan
orang-orang yang ingin menonton gig amal dadakan kami. Legend Café yang memang
sebenarnya tidak didesain untuk menampung orang banyak untuk acara musik
seketika menjadi penuh hingga parkiran motor menutupi setengah jalan. Is
membuka acara dengan menjelaskan bahwa acara ini adalah acara amal yang
didedikasikan untuk almarhum Yoga, rekan promotor kami yang belum pernah kami
temui sebelumnya dan telah merenggut nyawanya sendiri pagi tadi, meninggalkan
seorang istri dan anak yang masih kecil. Setelah mengheningkan cipta sejenak,
kotak sumbangan mulai dioper di antara penonton, lalu kami memulai membawakan
lagu-lagu kami.
Ini adalah pertama kalinya saya memainkan bass saya sambil menahan
tangis. Perasaan bercampur aduk antara terharu karena penonton bernyanyi
bersama kami dengan kerasnya, juga perasaan sedih karena sekitar 12 jam
sebelumnya sebuah nyawa melayang karena ini. Saya tidak kuasa menahan sedih dan
haru sampai-sampai mata saya pun mulai berair menahan tangis, hingga harus
memalingkan muka dari beberapa penonton di barisan depan yang memperhatikan
saya dan menunggu saya menangis. Saya yakin teman-teman Payung Teduh yang lain beserta
para kru kami juga merasakan hal yang sama ketika mendengar penonton menyanyikan
lagu kami.
Konser dadakan kami harus dihentikan lebih awal oleh polisi karena
jumlah penonton yang datang di luar kapasitas Legend Café, hingga menutupi
setengah jalan di depan kafe tersebut. Kami hanya sempat memainkan 4-5 lagu
sebelum akhirnya menutup acara serta kemudian mengamankan hasil sumbangan yang
dikumpulkan untuk kemudian diberikan ke istri almarhum. Kami lalu melepas lelah
dengan beristirahat di salah satu penginapan di Jogja sebelum kemudian pulang
ke Jakarta esok harinya.
Titik Terang
Beberapa bulan setelah Lock Stock II, tepatnya tanggal 18 Oktober
2013, kami diundang untuk tampil kembali di Jogja, kali ini di acara EcoMusica
Universitas Gajah Mada. Penginapan kami yang dekat dengan stadion Maguwoharjo tentunya
mengingatkan pada pengalaman Lockstock yang melelahkan dan mengharukan. Namun
kali ini di Purna Budaya UGM, kunjungan kami berbuah manis; jumlah penonton
yang datang di Purna Budaya adalah sekitar 2000 orang, dua kali lipat dari
jumlah yang ditargetkan oleh panitia. Setelah tampil di Purna Budaya, kami pun
seketika mengingat kembali pengalaman di Lock Stock, jerih payah kami yang penuh
dan diliputi kesedihan kala itu terbayar dengan antusiasme penonton yang luar
biasa di Ecomusica. Titik terang telah muncul di Jogja, dan perlahan menutupi
titik hitam yang sempat menodai scene musik Indie Indonesia. Semoga kita semua
tidak lupa serta bisa belajar dari pengalaman ini, agar terus menjaga dan
memajukan musik di tanah air.
ditulis oleh : Comi Aziz Kariko